Mukidi melihat mbah Kartinem sedang kebingungan di kantor pos.
Mukidi: “Bisa saya bantu nek?”
Nenek: “Tolong pasangin perangko sama tulis alamatnya nak.”
Mukidi: “Ada lagi nek?”
Nenek: “Bisa bantuin tulis isi suratnya sekalian?”
Mukidi: (Mengangguk).
(Si mbah lalu mendiktekan surat sampai selesai).
Mukidi: “Cukup nek?”
Nenek: “Satu lagi nak. Tolong di bawah ditulis, maaf tulisan nenek jelek.”
Vanny's Blog
Minggu, 13 November 2016
Cerita Lucu Mukidi: Surga atau Neraka
Bu Guru: “Anak-anak. Siapa yang mau masuk surga?”
Anak-anak: (Dengan serempak) “Sayaa!”
Mukidi: (Lagi duduk di belakang hanya diam saja).
Bu Guru: “Siapa yang mau masuk neraka?”
Anak-anak: “Tidak mauu!”
Mukidi: (Tetap diam saja).
Bu guru: (Mendekat) “Mukidi, kamu mau masuk surga atau neraka?”
Mukidi: “Tidak kedua-duanya Bu Guru.”
Bu Guru: “Kenapa?”
Mukidi: “Habis waktu ayah saya mau meninggal, beliau berpesan. Mukidi, apapun yang terjadi kamu harus masuk TENTARA.
Anak-anak: (Dengan serempak) “Sayaa!”
Mukidi: (Lagi duduk di belakang hanya diam saja).
Bu Guru: “Siapa yang mau masuk neraka?”
Anak-anak: “Tidak mauu!”
Mukidi: (Tetap diam saja).
Bu guru: (Mendekat) “Mukidi, kamu mau masuk surga atau neraka?”
Mukidi: “Tidak kedua-duanya Bu Guru.”
Bu Guru: “Kenapa?”
Mukidi: “Habis waktu ayah saya mau meninggal, beliau berpesan. Mukidi, apapun yang terjadi kamu harus masuk TENTARA.
AKU BERADA KEMBALI
Oleh Chairil Anwar
Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna,kapal kapal,
elang-elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar
seterang
guruh
1949
Oleh Chairil Anwar
Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna,kapal kapal,
elang-elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar
seterang
guruh
1949
CINTAKU JAUH DI PULAU
Oleh Khairil Anwar
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
Oleh Khairil Anwar
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
SAJAK PUTIH
buat tunanganku Mirat
Oleh Khairik Anwar
Bersandar pada tari warna pelangi
kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
meriak muka air kolam jiwa
dan dalam dadaku memerdu lagu
menarik menari seluruh aku
hidup dari hidupku, pintu terbuka
selama matamu bagiku menengadah
selama kau darah mengalir dari luka
antara kita Mati datang tidak membelah...
Buat Miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
Kucuplah aku terus, kucuplah
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku...
buat tunanganku Mirat
Oleh Khairik Anwar
Bersandar pada tari warna pelangi
kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
meriak muka air kolam jiwa
dan dalam dadaku memerdu lagu
menarik menari seluruh aku
hidup dari hidupku, pintu terbuka
selama matamu bagiku menengadah
selama kau darah mengalir dari luka
antara kita Mati datang tidak membelah...
Buat Miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
Kucuplah aku terus, kucuplah
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku...
KARAWANG BEKASI
Oleh Khairil Anwar
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Oleh Khairil Anwar
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
RENJANA
Oleh Gatra Aksara
Telah ku tulis madah di paras sepuluh purnama
Mengulas gugusan senyummu, kala berbinar sakral di gebyar semesta
Gubahkan lindap malam menjadi titisan rindu tak bermahkota
Namun sarat manja, mencitra santunmu penuh pesona,..
Harum ribang ini, seduh ku reguk nikmat bagai kafur nira
Sendiri, kala lisan gagu terhalang pupus hati kian meronta
Terang, diterjemahkan sendu menyembilu oleh gemerlapan kartika
Bertajuk kasih jumpa, berbatas khayal terpisah samudra,..
Ini tentangmu Almira,..
Tentang hati lembut yang mengasfar kencana
Suci terlampir mesra di cakrawala, namun terasa mustahil untuk ku sua,..
Suatu ketika,..
Tarikh menuju dasawarsa mulai melepuh terbakar bara cinta
Trenyuh batinku menggelepar haru lantas berserah rela,..
Akhirnya tersenarai hikayat menjelma dalam bait-bait do'a
Menyirat kalam harapan curam di sepanjang gaun lembayung senja
Lantas, jingga menyepuh apik langit sore dan melafalkan Fatwa Renjana.
Oleh Gatra Aksara
Telah ku tulis madah di paras sepuluh purnama
Mengulas gugusan senyummu, kala berbinar sakral di gebyar semesta
Gubahkan lindap malam menjadi titisan rindu tak bermahkota
Namun sarat manja, mencitra santunmu penuh pesona,..
Harum ribang ini, seduh ku reguk nikmat bagai kafur nira
Sendiri, kala lisan gagu terhalang pupus hati kian meronta
Terang, diterjemahkan sendu menyembilu oleh gemerlapan kartika
Bertajuk kasih jumpa, berbatas khayal terpisah samudra,..
Ini tentangmu Almira,..
Tentang hati lembut yang mengasfar kencana
Suci terlampir mesra di cakrawala, namun terasa mustahil untuk ku sua,..
Suatu ketika,..
Tarikh menuju dasawarsa mulai melepuh terbakar bara cinta
Trenyuh batinku menggelepar haru lantas berserah rela,..
Akhirnya tersenarai hikayat menjelma dalam bait-bait do'a
Menyirat kalam harapan curam di sepanjang gaun lembayung senja
Lantas, jingga menyepuh apik langit sore dan melafalkan Fatwa Renjana.
Langganan:
Postingan (Atom)